EMITEN - JAKARTA. PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk (BEST) mengalami tekanan yang berat selama tahun 2020. Terbukti di tahun tersebut, rugi bersih yang dicatatkan mencapai Rp 115 miliar dengan pendapatan yang hanya membukukan Rp 242 miliar, atau turun 74,5% secara year on year (yoy), kerugian ini adalah yang pertama dalam 10 tahun sejarahnya.
Menurut Analis Ciptadana Sekuritas Yasmin Soulisa, gross profit margin (GPM) BEST yang turun menjadi 52,6% dari 66,6% di 2019, sementara rasio margin laba operasi turun sebesar 442 bps menjadi 9,1% karena harga pokok penjualan melambat pada tingkat yang lebih lambat, sementara rasio biaya operasional melonjak secara signifikan.
“Pendapatan berulang yang stabil menyumbang 64% dari total pendapatan BEST tahun 2020, penjualan lahan industri cukup menantang dikarenakan pandemi Covid-19, yang mengakibatkan penundaan atau pembatalan rencana investasi,” ujar Yasmin.
Baca Juga: Prospek masih positif, cek rekomendasi saham 2 emiten kawasan industri ini
Di tahun 2021, BEST optimistis mempertahankan target penjualan lahan mencapai 10 hingga 15 hektare dengan rata-rata harga penjualan pada kisaran Rp2,6 juta hingga Rp3,2 juta per meter persegi. Akan tetapi, Yasmin memperkirakan penjualan tanah untuk BEST di tahun ini hanya 5 hektare, hal ini dikarenakan kinerjanya di tahun 2020.
Setelah catatan nol penjualan lahan industri di tahun 2020, dan pemasukan hanya berasal dari pendapatan berulang, Analis Maybank Kim Eng Aurellia Setiabudi dalam risetnya yang dirilis pada 18 Januari 2021, menilai BEST hanya akan menjual 15 hektare lahan di tahun 2021 dan 2022.
Di sisi lain, Analis BRI Danareksa Sekuritas Victor Stefano dalam risetnya yang dirilis pada 1 April 2021, Ia memperkirakan BEST akan membukukan penjualan 12 hektare lahan industri di tahun 2021.
Pemulihan ekonomi dan omnibus law
Menurut Victor dalam risetnya, pendapatan BEST yang lemah di tahun ini adalah cerminan dari kinerja penjualan lahan industri yang lemah, dan bersamaan dengan keyakinan dari pelonggaran pembatasan sosial yang akan memulihkan ekonomi, Ia optimistis marketing sales yang akan dibukukan akan mencapai Rp 350 miliar.
Lalu, Aurellia dalam risetnya menilai, harga saham BEST yang menguat bersamaan dengan perusahaan sejenis, diyakini akan membawa sentimen positif di sektor kawasan industri karena pemerintah mengesahkan Omnibus Law.
Baca Juga: Prospek kawasan industri masih bagus, ini rekomendasi saham DMAS dan BEST
Senada, Yasmin juga menilai dengan permintaan tanah belum pulih ke level pra-pandemi, tetapi perusahaan akan mendapatkan keuntungan dari peningkatan kepercayaan konsumen dan investasi baru setelah pemerintah gencar melakukan vaksinasi dan disahkannya omnibus law.
Yasmin juga berpandangan lebih moderat, karena ia yakin permintaan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih, sehingga masih akan berat untuk penjualan lahan di tahun ini.
“Sejalan dengan pedoman perusahaan, kami juga mengharapkan pendapatan berulang memiliki pertumbuhan yang stabil tahun ini,” kata Yasmin.
Perkirakan pendapatan mereka tahun ini menurut Yasmin masih belum akan mencapai ke level pra-pandemi, karena perkiraan yang meleset di tahun 2020. Di tahun 2021 ia memperkirakan pendapatan akan berada di angka Rp 297 miliar dengan laba bersih Rp 10 miliar.
Aurellia dalam risetnya memperkirakan pendapatan di tahun 2021 hanya akan berada di angka Rp 228 miliar, dengan rugi bersih berada di angka Rp 161 miliar.
Baca Juga: Simak rekomendasi saham BEST, INKP, JMSR dan MAPI untuk hari ini (18/1)
Sementara itu, perkiraan Victor lebih tinggi dibandingkan dengan keduanya, ia memperkirakan pendapatan mencapai Rp 721 miliar dengan laba bersih Rp 181 miliar.
Victor dalam risetnya menilai bahwa meskipun kinerja yang buruk di tahun lalu, valuasi BEST tetap akan menarik, mengingat pemulihan ekonomi yang diharapkan akan terjadi sampai kuartal II 2020.
Untuk tahun ini, Yasmin merekomendasikan BEST dengan beli di target harga Rp 190 per saham. Aurellia merekomendasikan jual di target harga Rp 155 per saham. Terakhir, Victor merekomendasikan beli di target harga Rp 230 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News