SUKUK - JAKARTA. Kondisi pasar obligasi Indonesia terus menunjukkan sinyal positif di tengah kenaikan kasus Covid-19 di dalam negeri. Hal ini bisa tercermin dari hasil lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Selasa (27/7) di mana jumlah penawaran yang masuk mencapai Rp 56,69 triliun atau yang tertinggi sepanjang tahun ini.
Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C Permana menjelaskan, pemicu utama tingginya permintaan terhadap SBSN adalah likuiditas yang sangat baik di global maupun domestik, khususnya perbankan.
Baca Juga: Lelang sukuk banjir peminat, ini faktor yang menopangnya
Oleh sebab itu, risiko ketidakpastian akibat naiknya angka Covid-19 lebih dianggap ke katalis negatif jangka pendek saja.
Lebih lanjut, secara fundamental, Fikri meyakini kondisi SBSN saat ini justru masih sangat baik tercermin dari beberapa indikator yang meyakinkan.
Pertama, spread yield antara SBN acuan 10 tahun dengan yield US Treasury berada di 500 bps, spread yang besar. Apalagi, inflasi Indonesia juga terjaga sehingga menurutnya, real yield Indonesia bisa lebih tinggi dari spread tersebut.
“Jika dibandingkan dengan peers, fundamental kita juga sangat kompetitif karena menawarkan yield yang lebih baik dengan nilai tukar yang juga menarik. Penerbitan global bond juga bisa jadi patokan, di mana yield untuk yang 10 tahun berada di 2,2%, jauh lebih tinggi dibanding yield obligasi korporasi AS dengan rating BBB yang yieldnya hanya 2,17%, terlebih penerbitan dari pemerintah, maka bebas dari risiko,” kata Fikri ketika dihubungi Kontan.co.id, Rabu (28/7).
Ditambah lagi, dari sisi defisit fiskal, Fikri menyebut kondisi Indonesia juga masih sangat terjaga. Pada tahun ini, defisit bahkan diperkirakan lebih rendah dari perkiraan dari 5,9% menjadi 5,7%. Jadi, fundamentally memang baik, karena yield tetap menarik tapi risiko fiskalnya terjaga.
Baca Juga: Semakin ramai, hasil lelang SBSN capai Rp 56 triliun hari ini
Selain itu, Fikri juga melihat investor domestik tidak dalam posisi terpaksa untuk mengambil posisi di SBSN, karena dari segi imbal hasil yang ditawarkan juga masih menarik dibandingkan dengan instrumen dengan risiko yang sejenis.
Walaupun posisi perbankan cukup dominan di SBSN, Fikri menilai risiko terjadinya outflow besar-besaran ketika penyaluran kredit berangsur normal relatif minim.
“Untuk masalah tersebut, rasanya pemerintah bisa meminimalisir dengan memberikan kelonggaran bagi perbankan dari sisi Giro Wajib Minimum (GWM) maupun Supplementary Leverage Ratio (SLR). Sehingga ini bisa menjadi bumper agar perbankan tidak keluar secara serentak,” tutup Fikri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News