Saham-Saham Rekomendasi Analis di Tengah Ancaman Resesi Ekonomi AS

Kamis, 23 Juni 2022 | 05:30 WIB   Reporter: Sugeng Adji Soenarso
Saham-Saham Rekomendasi Analis di Tengah Ancaman Resesi Ekonomi AS


EMITEN -  JAKARTA. Isu resesi di Amerika Serikat menjadi perhatian tahun ini di tengah lonjakan inflasi yang dapat menahan proyeksi profit korporasi.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menuturkan, di tengah ancaman resesi umumnya akan terjadi switching ke saham defensif. Menurutnya, saham-saham defensif berasal dari sektor consumer dan telekomunikasi.

"Alasannya adalah dalam kondisi apapun produk yang dihasilkan akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat sehingga seharusnya pendapatan akan lebih stabil dibanding sektor lain," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (22/6).

Beberapa saham yang dinilainya menarik diamati datang dari PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).

Pandhu menjelaskan, dipilihnya TLKM sebagai saham defensif karena dari sisi pendapatan secara konsisten membukukan pertumbuhan positif, profitabilitasnya pun cukup kuat. ROE stabil di atas 15% dari tahun ke tahun, bahkan tahun lalu membukukan laba bersih terbesar sepanjang sejarah dinilai  perseroan kuat dalam menghasilkan keuntungan secara konsisten.

Baca Juga: IHSG Terkoreksi 0,85%, Asing Banyak Mengoleksi Saham-Saham Ini pada Rabu (22/6)

"Secara operasional juga tidak perlu diragukan karena bagaimanapun kondisi ekonomi, komunikasi sudah menjadi kebutuhan pokok seperti pulsa dan berlangganan data internet. TLKM juga market leader di industri dengan skala bisnis yang besar dan memiliki struktur permodalan yang sehat menjadi keunggulan kompetitif TLKM dibanding provider telekomunikasi lain," jelasnya.

 

 

Dari pergerakan sahamnya, TLKM sedang dalam masa koreksi setelah sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah di Rp 4.850 pada bulan April lalu. Terkoreksi sekitar 17% dari level tertinggi, sehingga sudah mulai menarik untuk diperhatikan.

Untuk tren jangka panjang juga dilihat masih bergerak menguat dengan support trendline sekitar Rp 3.800. Secara valuasi saat ini diperdagangkan pada rasio PE sekitar 16,4 kali, relatif menarik karena masih relatif rendah dibanding selama 10 tahun terakhir yang bergerak dalam range sekitar 13,5 kali - 24 kali dengan nilai median di 18,5 kali.

"Artinya saat ini relatif lebih murah sehingga jika terjadi koreksi diperkirakan tidak akan terlalu jauh lagi dari harga saat ini," sebutnya.

Kemudian saham ICBP dipilih karena memiliki berbagai produk yang mampu menjadi market leader seperti Indomie, Chitato, dan Pop Mie. Pandhu melihat kinerja konsisten bertumbuh, bahkan teruji ketika menghadapi masa pandemi Covid-19 yang lalu dengan pendapatan yang tumbuh positif.

Baca Juga: IHSG Ditutup di Zona Merah, Ini Saham-Saham yang Banyak Dilepas Asing, Rabu (22/6)

Konflik Ukraina-Rusia yang membuat harga gandum melonjak hampir 2 kali lipat dibanding tahun lalu juga tidak membuat kinerja surut. Masih dapat membukukan pertumbuhan pendapatan sekitar 14%, meskipun labanya turun tipis.

"Hal ini juga meredakan kekhawatiran pasar bahwa kinerja akan terpukul dengan lonjakan harga bahan baku, namun perseroan dapat membuktikan bahwa stok bahan baku dapat mereka kelola dengan sangat baik sehingga tidak mengganggu kinerja," katanya. 

Dari arah pergerakan saham ICBP, selama 2 bulan terakhir terus bergerak menguat. Terutama semenjak the Fed memutuskan menaikkan suku bunga. Hal ini memperkuat hipotesa bahwa sektor consumer akan cenderung bergerak menguat ketika ekspektasi akan terjadi kontraksi ekonomi di masa mendatang.

Menurutnya, para fund manajer juga mulai melakukan rebalancing portofolio mereka untuk menjaga risiko ini. Selain itu, secara kinerja diperkirakan akan semakin membaik seiring mulai turunnya harga komoditas seperti CPO dan gandum sehingga diharapkan profit margin akan pulih.

Selain dari fundamental, Pandhu menyarankan investor juga dapat memperhatikan kondisi pasar. Umumnya, sektor defensif baru akan bergerak ketika pasar berada dalam kecenderungan koreksi.

Tak baru sekarang, resesi terakhir yang di Amerika Serikat terjadi pada tahun 2008. Kala itu, penyaluran kredit properti kepada debitur yang tidak layak (subprime mortgage) tak hanya menyebabkan negara dengan nilai perekonomian di dunia tersebut masuk ke jurang resesi, namun juga menyebabkan perekonomian di berbagai belahan dunia mengalami krisis keuangan atau yang lazim disebut krisis keuangan global. 

Baca Juga: Asing Banyak Memborong Saham-Saham Ini di Tengah Koreksi IHSG Rabu Siang (22/6)

Bercermin dari kinerja krisis sebelumnya, Pandhu melihat kedua saham ini relatif kuat mempertahankan kinerja keuangan masing-masing. Untuk harga saham memang terseret turun juga karena porsi kepemilikan asing yang cukup besar sehingga rawan tertekan oleh capital outflow, tetapi setelah itu cenderung lebih cepat pulih karena secara fundamental tidak terlalu terpengaruh.

Walau begitu, Pandhu menilai di tengah ancaman resesi perlu mengurangi porsi saham lantaran dianggap beresiko. Hanya saja, dirinya melihat saat ini kondisi Indonesia masih cukup kuat.

"Belum ada tanda-tanda resesi, untuk tahun ini pertumbuhan GDP diperkirakan masih akan di atas 5% sehingga tidak perlu khawatir berlebihan. Mungkin jika terjadi koreksi justru merupakan peluang untuk dapat harga lebih rendah," katanya.

Sementara, untuk komposisi portofolio sendiri akan sangat tergantung dari tipe dan profil risiko tiap investor. Yang jelas, untuk investor jangka panjang dinilai tidak perlu khawatir karena saham masih lebih menarik. Sedangkan untuk jangka pendek dinilai akan lebih aman jika mengurangi alokasi di aset berisiko seperti Crypto dan saham.

"Bisa alihkan sebagian ke emas atau obligasi," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli

Terbaru