EMITEN - JAKARTA. Setidaknya ada tiga bank sentral yang akan mengadakan pertemuan pada pekan depan. Bank Indonesia akan mengadakan rapat dewan gubernur (RDG) Rabu-Kamis (16-17/3). The Fed dan BI melakukan pertemuan di hari yang sama. Sementara sehari setelahnya ada pertemuan Bank Sentral Jepang.
Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, inflasi Amerika yang kian tidak terbendung dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, ditambah dengan naiknya harga minyak akibat perang Ukraina dan Rusia akan mendorong inflasi.
“Hal ini yang mengakibatkan potensi kenaikan tingkat suku bunga The Fed menjadi semakin besar dan semakin cepat,” ungkapnya, Minggu (13/3).
Baca Juga: Bergerak di Atas Trendline Bullish, Simak Proyeksi IHSG pada Perdagangan Senin (14/3)
Ia menambahkan, seberapa cepat dan besar The Fed menaikkan tingkat suku bunga tahun ini akan memberikan efek untuk negara lain. Naiknya tingkat suku bunga AS berpotensi mendorong kenaikan tingkat suku bunga dari berbagai negara lainnya, tidak terkecuali Indonesia sebagai emerging market.
“Oleh sebab itu, perhatiannya tentu saja terletak pada kenaikan tingkat suku bunga The Fed akan memberikan korelasi positif 1:1 atau 1:2 bagi Bank Indonesia. Itu semua tergantung dari situasi dan kondisi fundamental Indonesia, terlebih lagi stabilitas dan volatilitas pasar dalam negeri,” papar Nico.
Kenaikan tingkat suku bunga, sambungnya, akan memberikan efek penurunan investasi. Sehingga, hal ini akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap pasar saham terkhususnya pasar obligasi.
Baca Juga: Kinerja Bank Digital Mulai Membaik
Bagi emiten perbankan, jika terjadi peningkatan suku bunga The Fed yang memicu kenaikan tingkat suku bunga Bank Indonesia, maka akan mendorong kenaikan tingkat suku bunga kredit. Padahal pemulihan ekonomi akibat Covid-19 belum rampung.
Kondisi ini, menurut Nico, akan menambah beban prospek pemulihan ekonomi nasional. Terlebih, daya beli belum sepenuhnya pulih sehingga banyak orang yang menunda konsumsi dan ekspansi.
“Kenaikan suku bunga Bank Indonesia akan mendorong tingkat suku bunga kredit, dimana akan mengganggu para debitur yang sebelumnya melakukan restrukturisasi utang sebelumnya,” tambah Nico.
Selanjutnya, situasi tersebut berpotensi mengerek NPL dan menjadi sentien negatif untuk sektor perbankan. Di lain sisi Nico melihat, sejauh ini prospek saham emiten perbankan ke depan masih positif meskipun penuh dengan volatilitas.
Nico berharap dengan membaiknya daya beli yang terus terjadi dan dibukanya aktivitas dan mobilitas masyarakat dapat meningkatkan tingkat optimis pelaku usaha untuk mulai tetap berekspansi melalui pinjaman.
Tidak hanya itu saja, fundamental saham-saham perbankan yang dinilai jauh lebih kuat, akan mampu menahan gejolak yang timbul dan memiliki tingkat ketahan yang lebih kuat.
Baca Juga: Tak Setinggi Bulan Lalu, Net Buy Masih Berlanjut pada Maret 2022
“Namun tetap kita harus berinvestasi pada saham saham buku III dan IV saja karena daya tahan mereka yang cenderung lebih besar. Meskipun Giro Wajib Mininum juga mengurangi likuiditas di pasar, tapi kami yakin penyaluran kredit akan tetap terjaga didukung oleh pengelolaan NPL yang baik,” jelasnya.
Bagi pelaku pasar yang ingin mengoleksi saham perankan, ia merekomendasikan untuk buy saham BBCA dengan TP di Rp 8.300, BBRI dengan TP di Rp 5.000, BBNI dengan TP di Rp 8.750, dan BMRI dengan TP di Rp 8.900.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News