EMITEN - JAKARTA. Pemerintah berencana mengerek tarif cukai, khususnya cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun 2022. Namun hingga saat ini, pemerintah masih mengkaji tarif baru cukai rokok untuk tahun depan.
Biasanya, pemerintah melihat target pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebagai salah satu pertimbangan. Di samping itu, pemerintah juga memperhitungkan faktor kesehatan, industri dan perkebunan, kontribusi terhadap penerimaan negara, dan rokok ilegal.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% dan inflasi 3%. Jika berpatokan pada dua indikator tersebut, maka tarif cukai rokok tahun 2022 minimal naik 8,2%.
Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani menilai, apabila tarif cukai rokok tahun depan naik di angka minimal tersebut, maka tingkat kenaikan ini tergolong baik. Pasalnya, perusahaan rokok masih bisa mengejar kenaikan tersebut dengan meningkatkan harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) produk-produknya.
Baca Juga: Hijau, harga saham WIIM & HMSP menguat di sesi pertama bursa Kamis (7/10)
Hendriko cukup optimistis perusahaan rokok bisa lebih leluasa meningkatkan harga jual produknya seiring dengan volume penjualan rokok yang sudah naik kembali. Berdasarkan data pemerintah, produksi rokok secara industri per Agustus 2021 tumbuh 6,2% year on year (yoy).
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya juga menilai, apabila tarif cukai tahun 2022 naik di angka minimal 8,2%, maka keputusan itu akan membawa sentimen positif.
"Kalau naik 8,2% itu lebih baik dari ekspektasi analis dan lebih rendah dari kenaikan tarif cukai tahun ini jadi bagus," ucap Christine saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (13/10).
Akan tetapi, jika tarif cukai naik di atas 10%, Christine berpendapat, keputusan tersebut cenderung berefek negatif, baik bagi kinerja perusahaan maupun sahamnya. Mengingat, tarif cukai rokok pada tahun 2021 yang naik 12,5% dan 23% pada 2020 belum sepenuhnya dapat diteruskan ke harga jual.
Baca Juga: Berhati-Hati Menyikapi Emiten Saham yang Akan Delisting
Terkait dengan saham-saham rokok, Hendriko masih memasang rekomendasi underweight. Artinya, ia melihat potensi harga saham rokok masih bisa turun lagi.
Salah satu sentimen negatif yang membayangi saham-saham rokok adalah adanya potensi kenaikan tarif cukai rokok tahun depan. Oleh sebab itu, Hendriko masih menunggu keputusan final pemerintah terkait tarif cukai 2022.
Selain itu, pelaku pasar juga masih mengharapkan adanya aturan simplifikasi cukai rokok terhadap produsen tier 1 dan tier di bawahnya. "Saat ini, gap antara cukai tier 1 dan tier 2 cukup lebar sehingga perlu diadakan simplifikasi sehingga tidak terlalu memberatkan emiten rokok tier 1," tutur Hendriko.
Secara fundamental, Hendriko menetapkan target harga untuk saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) sebesar Rp 1.045 per saham dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) Rp 31.000 per saham.
Per perdagangan Rabu (13/10), harga HMSP berada di level Rp 1.160 per saham dan GGRM Rp 34.525 per saham. Harga tersebut sudah melampaui target harga Hendriko seiring dengan performa positif yang terjadi akhir-akhir ini.
Baca Juga: Ini beda efek voluntary delisting dan forced delisting bagi investor
Meskipun begitu, menurut Christine kenaikan HMSP dan GGRM belakangan ini hanya mengekor sentimen kenaikan saham sektor barang konsumsi yang memiliki kapitalisasi pasar besar.
Christine pun masih mempertahankan rekomendasi hold untuk GGRM dengan target harga Rp 29.500 dan trading buy HMSP dengan target harga Rp 1.160 per saham.
Chrisrine masih menunggu pengumuman resmi tarif cukai tahun 2022 yang kemungkinan akan diberitahukan pada Oktober ini. Harga GGRM dan HMSP saat ini juga sudah melampaui target harganya.
Selanjutnya: Laba Gudang Garam (GGRM) merosot, apa rekomendasi analis?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News