DELISTING - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan, sepanjang Januari-Maret 2021 ada 27 emiten yang berpotensi delisting. Dari total tersebut, ada beberapa emiten yang memiliki jumlah pemegang saham publik cukup besar.
Misal, PT Hanson International Tbk (MYRX) dengan jumlah pemegang saham publik mencapai 78,33 miliar atau setara 90,35% dari seluruh modal ditempatkan dan disetor. Kemudian anak usaha MYRX yaitu PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO) mencapai 35,3 miliar atau setara 78,3%, dan PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) memiliki 31,35 miliar saham kepemilikan publik setara 63,16%.
Seperti diketahui, ada nama Benny Tjokro dibalik Hanson International, yang terseret kasus Jiwasraya di awal 2020. Namun, BEI menegaskan, suspensi beberapa perusahaan miliki Benny Tjokro dilakukan atas dasar fundamental emiten semata, seperti tidak menyampaikan informasi material terkait naik turunnya harga saham, keterlambatan laporan keuangan dan ada kewajiban materia yang belum dipenuhi.
Baca Juga: Berkurang satu, masih ada 16 emiten yang belum penuhi free float minimum 7,5%
Emiten lain dengan pemegang saham publik cukup besar yakni PT Inti Agri Resouces Tbk (IIKP) 27,34 miliar setara 81,38%, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) 18,75 miliar setara 51% dan PT Sugih Energy Tbk (SUGI) 16,43 miliar setara 66,23%.
Dalam waktu dekat Sugih Energy berpotensi delisting setelah masa suspensi memasuki 24 bulan pada Juli 2021.
Analis Philip Sekuritas Anugerah Zamzami Nasr mengatakan, apabila terjebak pada saham yang berpotensi delisting, investor disarankan untuk menjual sahamnya apabila suspensi sudah dibuka oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun dalam hal suspensi tidak dibuka hingga mendekati masa 24 bulan, maka investor disarankan memiliki menjual di pasar nego atau mengikuti kepastian pelaksanaan pembelian kembali (buyback) sesuai POJK 3/2021.
"Tetapi ya menjual di pasar nego bisa di bawah harga pasar berdasarkan kesepakatan harga antar dua pihak. Namun, seharusnya kalau ada peraturan buyback oleh emiten, ini sebenarnya membuat semakin ada kepastian," jelas Zamzami kepada Kontan.co.id, Kamis (1/4).
Pilihan antara menjual saham di pasar negosiasi ataupun menunggu proses buyback dikembalikan lagi sesuai kebutuhan investor. Apabila kebutuhan dana mendesak maka investor disarankan menggunakan pasar negosiasi, pun sebaliknya. Mengingat proses delisting membutuhkan waktu yang cukup panjang.
"Kalau jangka waktu tidak jadi masalah buat menunggu, ya lebih baik menunggu buyback karena harapannya bisa menjual di harga yang lebih baik," imbuhnya.
Berdasarkan ketentuan POJK 3/2021 dijelaskan ketentuan buyback wajib diselesaikan oleh emiten paling lambat 18 bulan setelah pengumuman keterbukaan informasi mengenai perubahan status dari perusahaan terbuka menjadi perseroan yang tertutup. Dalam pasal 75 ayat 2 dijelaskan buybak dapat dilakukan sampai jumlah melebihi 10% dari modal disetor sehingga jumlah pemegang saham tidak lebih dari 50 pihak atau jumlah lain yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Adapun harga pelaksanaan buyback oleh emiten ditetapkan harus lebih tinggi dari rata-rata 12 bulan dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya.
Ke depan, Zamzami menyarankan kepada investor untuk kembali melihat rekam jejak kepatuhan emiten termasuk penyampaian laporan keuangan, iuran ke BEI dan keterbukaan informasi emiten supaya tidak terjebak pada saham yang berpotensi delisting.
"Juga tentu, ya investor secara umum mesti paham apa yang dia beli, termasuk mengevaluasi kinerja emiten yang ingin dibeli, apakah berfundamental bagus dan memiliki prospek kinerja kedepan yang bagus atau tidak," ujarnya.
Selanjutnya: Sepanjang Januari-Maret 2021 BEI ingatkan potensi delisting 27 emiten
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News