PORTOFOLIO - JAKARTA. Investasi pada instrumen surat utang diperkirakan masih positif tahun depan. Selain mendapatkan imbal hasil berupa bunga, kondisi suku bunga acuan yang masih rendah dan kebijakan moneter lainnya menyebabkan masih ada potensi kenaikan harga obligasi.
Secara year to date (ytd), kinerja obligasi negara yang tercermin dari INDOBEX Government Total Return tercatat tumbuh 14,74%. Sedangkan kinerja obligasi korporasi yang tercermin dari INDOBEX Corporate Total Return tercatat tumbuh 10,98% secara ytd tahun ini.
Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana mengungkapkan, secara umum prospek pasar obligasi pada 2021 masih akan tetap positif. Salah satu faktor utama pendukungnya disebut Fikri berasal dari tren suku bunga rendah serta kebijakan ultra loose monetary. Kedua hal ini dinilai akan membuat yield obligasi bergerak turun lagi pada tahun depan.
“Di satu sisi risk appetite investor global terhadap emerging markets meningkat seiring yield di negara maju yang rendah. Akhirnya investor global akan mengalihkan dananya ke negara yang punya risiko terjaga dan yield menarik, Indonesia adalah salah satunya,” kata Fikri ketika dihubungi Kontan.co.id, Selasa (29/12).
Baca Juga: Lihat situasi, Krakatau Steel (KRAS) belum pastikan rencana IPO anak usaha
Fikri menyebut, likuiditas tak hanya akan datang dari luar negeri tapi juga dari dalam negeri. Hal ini seiring dengan adanya pembentukan sovereign wealth fund (SWF) yang diperkirakan akan menambah likuiditas.
Lebih lanjut, Fikri melihat fase pemulihan ekonomi justru berpeluang memberikan sentimen negatif baik ketika pemulihan berjalan sesuai harapan maupun ketika tidak sesuai harapan. Dia mencontohkan ketika pemulihan berjalan normal, maka likuiditas akan berkurang drastis.
Pertimbangannya adalah ketika pertumbuhan ekonomi baik, praktis perkreditan di perbankan akan kembali berjalan. Padahal, perbankan punya peran besar di SBN sebagai investor terbesar. Dengan keluarnya perbankan dari pasar obligasi, hal tersebut akan berpotensi menekan yield SBN.
Baca Juga: Dari empat saham bank, hanya BBCA yang masih mencatat net buy asing sebulan terakhir
Sementara ketika pemulihan ekonomi tidak berjalan sesuai harapan dan lambat, permintaan terhadap SBN justru akan terlalu tinggi. Fikri menilai akan terjadi crowding out effect di pasar obligasi seiring dana yang kembali menumpuk di SBN. Hal ini akan berdampak buruk terhadap pasar keuangan lain di luar obligasi.
“Jadi untuk tahun depan memang sebaiknya strategi investasi pada tahun depan dibagi rata, sudah tidak perlu berfokus lagi pada SBN seperti tahun lalu. Dengan asumsi semuanya berjalan sesuai harapan, pasar keuangan dan sektor riil akan berkinerja positif, jadi lebih baik bisa menangkap peluang tersebut dengan membagi rata ke kelas aset yang ada,” tambah Fikri.
Untuk prospek obligasi korporasi, Fikri melihat instrumen ini bisa jadi salah satu yang menarik karena berpotensi menambah return bagi investor. Dari sisi risiko, ia menyebut masih cukup terukur karena berdasarkan hitungan Pefindo, default rate obligasi korporasi hanya 0,84%. Dengan yield SUN yang kemungkinan turun, tentunya obligasi korporasi bisa jadi pilihan bagi investor.
Hitungan Fikri, spread yield yang ditawarkan obligasi korporasi dengan rating AAA berkisar 150 - 220 bps. Sementara dari default rate, rating AAA ini bahkan 0%. Jika investor memang profilnya agresif, Fikri menyebut default rate obligasi korporasi rating A hanya 2,2%. Secara umum, nilai tersebut masih lebih rendah dibanding portofolio aset yang punya risiko serupa.
Baca Juga: IHSG melesat 54% dalam 9 bulan terakhir, begini proyeksi untuk tahun depan
“Tapi kalau untuk obligasi korporasi memang sebaiknya diperhatikan dengan seksama dan disesuaikan dengan profil investor. Walaupun kemampuan bayar perusahaan secara agregat untuk tahun depan risikonya turun, tetap saja risiko gagal bayar tetap ada. Jadi perlu dicermati,” jelas Fikri.
Sementara untuk obligasi negara, Fikri melihat investor bisa mengambil posisi dengan durasi 10-20 tahun untuk mendapatkan yield paling optimal. Hal ini dikarenakan untuk SBN dengan durasi di atas 20 tahun, yield akan relatif lebih rendah seiring menurunnya tingkat risiko jangka panjang. Sedangkan SBN jangka pendek, dengan adanya kebijakan moneter longgar, yield-nya akan turun lebih cepat.
“Untuk tahun depan, dengan asumsi semuanya berjalan sesuai harapan dan pertumbuhan ekonomi bisa positif, yield SUN acuan 10 tahun bisa di kisaran 5,5%-5,7%. Sementara untuk obligasi korporasi dengan rating AAA, untuk tenor 5 tahun kemungkinan di 6,5%-6,7%,” tutup Fikri.
Baca Juga: Investasi obligasi 2021, diversifikasi ke obligasi korporasi untuk mengejar yield
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News