EMITEN - JAKARTA. Kabar baik bagi emiten sektor batubara di tengah tren melemahnya harga batubara. Katalis positif tersebut datang dari Undang Undang (UU) Cipta Kerja yang di dalamnya terdapat aturan mengenai insentif dari pemerintah dalam bentuk relaksasi royalti sampai dengan 0%.
Rinciannya, dalam pasal 128A UU Cipta Kerja, yang merupakan pasal sisipan di antara pasal 128 dan 129 disebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara, dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Perlakuan tertentu yang dimaksud adalah kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.
Analis MNC Sekuritas Catherina Vincentia menilai, pasal tersebut memang sesuai dengan tujuan UU Cipta Kerja yang berusaha menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Kebijakan kewajiban hilirisasi pada akhirnya adalah upaya untuk memberikan nilai tambah bagi hasil tambang batubara di Indonesia.
“Hanya saja, dampak dari kebijakan ini bersifat untuk jangka panjang, karena Indonesia tidak akan dapat bertahan jika hanya mengandalkan ekspor. Kewajiban hilirisasi membuat batubara lebih bernilai sehingga bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi,” jelas Catherina kepada Kontan.co.id, Sabtu (17/10).
Baca Juga: China boikot batubara dari Australia, begini efeknya ke pasar batubara menurut analis
Pada akhirnya, dengan harga jual batubara yang lebih tinggi, emiten batubara pun akan diuntungkan dengan kebijakan tersebut. Selain itu, menurut Catherina, beberapa poin dalam UU Cipta Kerja memang dibuat untuk memudahkan perusahaan batubara untuk memperpanjang izin operasionalnya.
Sementara, analis Mirae Asset Sekuritas Andy Wibowo dalam risetnya 7 Oktober 2020 menuliskan, UU Cipta Kerja dapat menciptakan efisiensi birokrasi pada sektor ketenagalistrikan. Misalnya, pemerintah pusat bisa merumuskan dan menetapkan kebijakan energi tanpa membicarakannya dengan DPR.
“Oleh sebab itu, kami melihat ini akan memberikan kemudahan dalam pembangunan infrastruktur energi dalam jangka panjang. Apalagi sesuai rencana bisnis kelistrikan Indonesia 2019-2028, komposisi kelistrikan akan didominasi energi batubara. Kami mencatat bauran energi Indonesia dari batubara akan sebesar 54,4% dari keseluruhan bauran energi Indonesia pada 2028,” tulis Andy.
Faktor China
Namun, di satu sisi emiten batubara juga dihadapkan dengan tren pelemahan harga batubara. Teranyar, China telah menghentikan impor batubara dari Australia. Catherina menilai, hal tersebut tentu menjadi pemberat bagi harga batubara ke depan. Terlebih China menjadi salah satu importir batubara terbesar dunia.
“Selama beberapa tahun terakhir China memang telah melakukan pengurangan penggunaan batubara sehingga dapat terlihat tren impor batubara yang menurun. Tidak hanya Australia, impor batubara dari Indonesia juga menurun 37% YoY pada September 2020,” jelas Catherina.
Analis Samuel Sekuritas Dessy Lapagu justru melihat, aksi yang dilakukan China tersebut belum memberikan dampak secara langsung ke emiten batubara di Indonesia. Namun, lain hal jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya dapat berujung pada oversupply dan terus menekan harga batubara mengingat Australia adalah salah satu eksportir terbesar ke China.
“Namun yang menarik, jika China malah beralih suplainya ke Indonesia sebagai eksportir terbesar ke-2 ke China, justru akan menguntungkan bagi emiten batubara Indonesia. Apalagi bagi PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang punya size produksi besar sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan ekspor ke China,” ujar Dessy.
Baca Juga: Adaro Energy (ADRO) belum berencana menambah porsi ekspor ke China, ini alasannya
Walau harga batubara sedang mengalami tekanan, ke depan Catherine cukup yakin masih terdapat peluang untuk mengalami penguatan. Faktor musim dingin yang akan mendorong peningkatan permintaan menjadi penyebabnya. Di satu sisi, strategi perusahaan batubara yang memangkas target produksi di tengah kondisi saat ini dinilai Catherine juga sudah cukup bijak.
Sedangkan, Andy masih mempertahankan proyeksi harga batubara pada tahun ini di level US$ 65 per ton. Pada tahun depan, Andy memperkirakan, harga batubara akan mengalami perbaikan dan berada di level US$ 70 per ton.
Dengan berbagai situasi saat ini, Catherina pun menjadikan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) sebagai top pick. Pertimbangannya adalah hanya PTBA yang baru memiliki dua pabrik hilirisasi di Lampung dan Sumatera Selatan. Lebih lanjut, PTBA sudah berencana melakukan gasifikasi karena ada kerja sama dengan pemerintah untuk program gasifikasi dan masih dalam proses studi kelayakan.
Sementara Dessy menilai, PTBA adalah emiten yang diuntungkan oleh efek omnibus law soal hilirisasi karena PTBA sedang dalam proses pembangunan pabrik Dimethyl Ether (DME). Lalu ADRO yang paling diuntungkan oleh sentimen China yang telah menghentikan impor batubara dari Australia.
Selanjutnya: Hubungan kian panas, China menyetop impor batubara dari Australia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News