Kinerja sejumlah emiten batubara tersokong kenaikan harga batubara

Kamis, 02 September 2021 | 07:35 WIB   Reporter: Akhmad Suryahadi
Kinerja sejumlah emiten batubara tersokong kenaikan harga batubara


EMITEN - JAKARTA. Kenaikan harga batubara global turut memoles kinerja emiten pertambangan batubara dalam negeri. Mayoritas emiten tambang batubara terbesar melaporkan kenaikan pendapatan, meskipun ada yang mengalami penurunan volume penjualan sepanjang semester I-2021.

PT Adaro Energy Tbk (ADRO) misalnya, mencatatkan pendapatan usaha sebesar US$ 1,56 miliar pada semester I-2021 atau naik 15% secara year-on-year (YoY). Kenaikan topline ini terutama disebabkan kenaikan pada harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) sebesar 25%. Hambatan suplai menopang kenaikan harga batubara global yang bermuara pada kenaikan ASP untuk Adaro.

“Akibat hambatan suplai, negara-negara penyuplai utama batubara tidak mampu memenuhi permintaan yang tinggi berkat pemulihan ekonomi terkait dengan kondisi pandemi,” ujar Presiden Direktur dan Chief Executive Officer ADRO, Garibaldi ‘Boy’ Thohir, Rabu (1/9).

Kenaikan ASP terjadi di tengah penurunan volume penjualan batubara, dimana ADRO mencatatkan penurunan penjualan 5% secara YoY menjadi 25,78 juta ton. Namun, ADRO berhasil mencatatkan laba bersih senilai US$ 169,96 juta, naik 9,53% dari laba bersih di periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 155,09 juta.

Baca Juga: Usai rights issue, mampukan market cap BBRI menyalip BBCA?

Membaiknya harga batubara juga turut mengerek kenaikan harga jual rerata PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) sepanjang semester I-2021. Konstituen Indeks Kompas100 ini mencatat perolehan rata-rata harga batubara sebesar US$ 74,7 per ton. Harga rata-rata ini naik 34% dari periode yang sama tahun sebelunya yang hanya US$ 55,7 per ton.

Sama seperti ADRO, kenaikan ASP tejadi di saat ITMG mencatatkan penurunan volume penjualan. Sepanjang paruh pertama 2021, ITMG menjual 9,0 juta ton batubara, menurun 18,91% dari penjualan batubara di periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 11,1 juta ton.

Meski demikian, topline ITMG tetap terkerek. ITMG mencatatkan pendapatan bersih senilai US$ 676,30 juta atau naik 3,72% dari pendapatan di periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 652,02 juta. Berkat disiplin biaya, laba bersih ITMG juga berhasil naik signifikan sebesar 312% menjadi US$ 118 juta di periode enam bulan pertama tahun ini.

Kenaikan ASP juga dicatatkan oleh PT Indika Energy Tbk (INDY) melalui dua anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung (Kideco) dan PT Multi Tambangjaya Utama (MUTU).

Baca Juga: Ini strategi Unilever (UNVR) di tengah pergeseran bisnis barang konsumsi

Kideco mencatatkan kenaikan harga jual rata-rata batubara sebesar 21,9%, dari US$ 39,8 per ton menjadi US$ 48,6 per ton pada paruh pertama 2021. Di saat yang sama, volume penjualan batubara Kideco naik sebesar 8,5%menjadi 18,1 juta ton.

Sementara MUTU mencatat kenaikan harga jual rata-rata batubara sebesar 30,4%, dari US$ 63,1 per ton menjadi US$ 82,3 per ton.  MUTU juga mengalami kenaikan volume penjualan batubara dari 0,6 juta ton menjadi 0,9 juta ton. Alhasil, INDY membukukan pendapatan US$ 1,28 miliar, naik 14,1% dari pendapatan di semester I-2020 sebesar US$ 1,12 miliar.

Melambungnya harga batubara juga memoles kinerja emiten tambang terafiliasi Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk. Emiten dengan kode saham BUMI ini membukukan pendapatan US$2,29 miliar, naik 16% dari pendapatan bersih di semester I-2020 sebesar US$ 1,97 miliar.

Direktur dan Sekretaris Perusahaan BUMI, Dileep Srivastava mengatakan, pendapatan yang meningkat sebesar 16% seiring meningkatnya harga batubara lebih dari 20% menjadi US$ 56,2 per ton (dari sebelumnya US$ 46,9 per ton). Kenaikan harga batubara berdampak pada kenaikan sebesar 104% pada laba bruto.

Alhasil, BUMI membukukan laba yang dapat diatribusikan kepada entitas induk sebesar US$ 1,9 juta, berbanding terbalik dari kondisi di periode yang sama tahun lalu dimana BUMI masih membukukan rugi bersih sebesar US$ 86,1 juta.

“Hal ini disebabkan karena meningkatnya harga batubara akibat ketidakseimbangan pasokan global, pandemi, efek variabel kondisi cuaca, kemacetan infrastruktur dan ketidakpastian politik,” terang Dileep.

Untuk tahun ini, produksi BUMI dipasang di angka 85 juta ton– 89 juta ton dengan perkiraan harga rata-rata US$ 58 – US$ 63 per ton.

Selanjutnya: Alkindo Naratama (ALDO) catatkan kinerja positif di semester I-2021, ini penyebabnya

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi

Terbaru