Mengukur dampak dan risiko krisis energi terhadap pasar komoditas

Kamis, 07 Oktober 2021 | 06:50 WIB   Reporter: Danielisa Putriadita
Mengukur dampak dan risiko krisis energi terhadap pasar komoditas


BURSA EFEK / BURSA SAHAM -  JAKARTA. Krisis energi secara global semakin menghantarkan harga komoditas naik signifikan memasuki periode supercyle setelah pemulihan ekonomi mulai terjadi. Analis memproyeksikan tren kenaikan harga komoditas ini akan berlanjut hingga tahun depan. 

Krisis energi terjadi di sejumlah negara, seperti China, Eropa, Inggris, AS, dan kawasan Asia.

Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan krisis energi terjadi karena setelah beberapa negara berhasil menangani pandemi Covid-19, ekonomi secara global pulih dan kebutuhan akan komoditas energi meningkat. Namun, di satu sisi produksi berkurang sehingga suplai dan permintaan tidak sebanding. 

Dampak krisis energi membuat harga komoditas melambung tinggi. Apalagi selain karena sentimen krisis energi, permintaan komoditas energi jelang musim dingin akhir tahun juga meningkat. 

Baca Juga: IHSG melesat 2,06% hari ini, simak proyeksi analis pada perdagangan Kamis (7/10)

Terutama, permintaan batubara meningkat dari China dan India. Namun, produksi batubara di China menurun karena terhambat banjir bandang. "Krisis batubara di China membuat China mengimpor lebih banyak minyak, sehingga harga minyak juga ikut terangkat," kata Ibrahim, Rabu (6/10). 

Pasokan dan permintaan yang tidak seimbang juga merembet pada kenaikan harga crude palm oil (CPO). Padahal, Ibrahim sempat memproyeksikan harga CPO terkoreksi, tetapi dengan naiknya harga komoditas energi lain harga CPO juga jadi ikut kembali terangkat. 

Di satu sisi permintaan CPO dalam negeri untuk kebutuhan biodiesel tinggi, ekspor pun tinggi. Namun, produksi CPO masih terganggu, terutama produksi dari Malaysia. "Kekurangan tenaga kerja masih terjadi di Malaysia, produksi masih belum pulih," kata Ibrahim. 

Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono mengatakan krisis energi yang membuat harga komoditas meningkat,  menguntungkan Indonesia sebagai negara eskportir untuk komoditas CPO, batubara, timah dan nikel. Kecuali, kenaikan harga minyak bisa merugikan Indonesia sebagai negara yang lebih banyak melakukan impor daripada ekspor minyak. 

Baca Juga: Pada Agustus catat rekor, ini perkiraan cadangan devisa bulan September 2021

Ibrahim memproyeksikan tren kenaikan harga komoditas ini akan berlanjut selama negara produksi komoditas belum menggenjot produksinya secara berkelanjutan.

"Belum tau kapan harga komoditas akan mereda setiap negara memiliki rencana dan regulasinya masing-masing," kata Ibrahim. 

Wahyu memproyeksikan harga batubara berpotensi meroket ke US$ 260-US$ 280 per metrik ton di akhir tahun ini. Sementara, di 2022 harga batubara berpotensi menyentuh US$ 300 per metrik ton.

"Jika terjadi koreksi harga batubara bisa mengarah ke US$ 200 bahkan US$ 100 tergantung bagaimana kebijakan China," kata Wahyu. 

Sedangkan Ibrahim memproyeksikan harga CPO di akhir tahun ini berpotensi naik ke RM 5.100 per ton. 

Namun, harga komoditas tidak akan selamanya naik. Ibrahim mengatakan jika harga terus naik, investor tidak ada yang mau beli karena sudah terlalu mahal. 

Baca Juga: Daya tarik investasi reksadana di tengah pemulihan ekonomi

Selain itu jika harga komoditas tidak dikontrol dan terus meroket maka negara berpotensi merugi akan harus meningkatkan subsidi komoditas energi. 

Wahyu menambahkan, jika kenaikan harga komoditas tidak terbendung, maka yang paling besar risikonya adalah memunculkan krisis baru. Wahyu mencontohkan di 2008 harga minyak sempat melambung ke US$ 140 per barel sebelum akhirnya anjlok seiring krisis subprime mortgage. 

Selanjutnya: Kenaikan harga komoditas menyokong kenaikan IHSG 2,06% pada Rabu (6/10)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli

Terbaru