Meraba Prospek Saham Emiten Media, Mana yang Menarik untuk Dilirik?

Minggu, 26 Juni 2022 | 18:37 WIB   Reporter: Ridwan Nanda Mulyana
Meraba Prospek Saham Emiten Media, Mana yang Menarik untuk Dilirik?

ILUSTRASI. Seorang pria melintasi layar digital pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (24/6/2022).


EMITEN - JAKARTA. Hingga tengah tahun ini, mayoritas saham emiten dengan bisnis inti media masih berkutat di zona merah dalam jangka Year to Date (YTD). Meski begitu, sejumlah saham mulai merangkak naik dalam seminggu terakhir.

Sebagai contoh, PT Mahaka Media Tbk (ABBA) secara YTD merosot 35,79%. Dalam seminggu terakhir, ABBA mencetak kenaikan 13,94%. Harga saham emiten Erick Thohir ini berada di level Rp 188 setelah menguat 10,59% pada Jum'at (24/6).

Anak usaha ABBA, PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) punya nasib serupa. Secara YTD, harga MARI sudah terjun 64,08%. Seminggu terakhir, ada kenaikan 8,23% ke posisi Rp 171. Penguatan signifikan terjadi pada Jum'at lalu dengan kenaikan 11,04%.

Group Emtek tak mau ketinggalan. Harga saham PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) menghijau 8,41% dalam sebulan terakhir, setelah merosot 28,83% secara YTD. Saham SCMA kini berada di Rp 232 setelah menguat 1,75% pada akhir pekan.

Baca Juga: Vidio Raih Investasi US$ 45 juta, Dian Swastatika (DSSA) Jadi Kontributor Terbesar

Sementara itu, saham PT Tempo Inti Media Tbk (TMPO), PT Arkadia Digital Media Tbk (DIGI), dan PT Net Visi Media Tbk (NETV) masih berusaha melaju ke zona hijau. Sedangkan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) masih parkir sebagai saham gocap.

Di antara emiten dengan core business media, Grup MNC lewat PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) paling konsisten bergerak naik. Secara YTD, harga saham MNCN telah meningkat 10% ke posisi Rp 990.

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengungkapkan, pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung memberikan imbas positif ke semua sektor bisnis. Namun ada sektor yang bisa pulih dengan cepat, dan ada juga lambat.

Nico pun melihat sejauh ini emiten media belum mendapatkan angin segar yang kuat di tengah pemulihan ekonomi. Di sisi lain, ada beberapa sektor yang menjadi primadona dan memberikan peluang lebih baik untuk bertumbuh dari sisi valuasi maupun capital gain.

"Sehingga tentu saja investor berpindah kepada sektor yang menguntungkan. Oleh sebab itu, kami pun belum merekomendasikan emiten di sektor ini karena belum saatnya, akselerasi pemulihan berjalan lambat," kata Nico kepada Kontan.co.id, Minggu (26/6).

 

 

Senada, Analis Samuel Sekuritas Indonesia Farras Farhan juga belum melihat adanya katalis positif yang signifikan bagi emiten media. Belanja iklan yang menjadi andalan dalam mendulang pendapatan perusahaan media dinilai masih akan stagnan atau tumbuh perlahan.

Terlebih, pola periklanan (advertising) juga sudah berubah dengan tumbuhnya digital marketing. Kemudian, potensi iklan dari tahun politik Pemilihan Umum dan Presiden 2024 ditaksir baru akan terasa mulai tahun depan.

"Jadi kemungkinan pendapatan dari belanja iklan tahun ini masih relatif berat. Kalau tumbuh, tidak akan terlalu signifikan," imbuh Farras.

Baca Juga: IHSG Menguat 1,5% Sepekan, Asing Malah Net Sell Rp 4,18 Triliun, Ada Apa?

Head of Research Reliance Sekuritas Alwin Rusli juga berpandangan kinerja mayoritas saham emiten media yang kurang memuaskan tak lepas dari faktor fundamental perusahaan. Apalagi jika dibandingkan sektor lain yang terbang tinggi seperti pertambangan.

Kemudian, jika dibandingkan sesama emiten consumer cyclicals di sub-sektor media & entertainment, investor tampak lebih tertarik dengan angin segar yang berhembus ke PT MD Pictures Tbk (FILM).

Kembali ramainya bioskop dan adanya film box office seperti KKN di Desa Penari yang mencetak rekor jumlah penonton terbanyak, membawa saham FILM meroket 117,99% ke level Rp 2.060.

Sejumlah emiten media memang berlomba memacu transformasi lewat platform berbasis digital. Namun Alwin memandang pangsa pasar masih terbagi-bagi dengan kompetisi yang semakin ketat.

"Emiten media juga tengah beradaptasi terhadap peralihan dari TV analog ke TV digital. Jadi sejauh ini katalis positif hanya bisa berharap dari inovasi masing-masing emiten terhadap produknya untuk mengikuti perkembangan zaman," sebut Alwin.

Katalis positif juga bisa datang dari tahun politik. Menurut Alwin, imbas positif dari iklan politik sudah bisa dirasakan emiten media pada akhir tahun ini. Selain itu, event yang menyita perhatian seperti sepak bola juga bisa mendorong kinerja emiten.

Alwin memberikan rekomendasi buy untuk saham SCMA dengan target harga di Rp 270, lalu buy NETV untuk target harga Rp 400. Alwin menyematkan rekomendasi neutral untuk MNCN dengan target harga yang bisa dicermati pada Rp 1.100.

Sementara itu, Farras menilai saham MNCN dan SCMA paling menarik untuk dilirik. Di samping punya pertumbuhan kinerja di kuartal pertama, MNCN juga telah mengkonsolidasikan platform Over The Top (OTT) Vision+.

Baca Juga: Simak prospek bisnis SCMA dan MNCN di tengah perkembangan teknologi digital​

Inisiatif digital seperti Vision+ dan RCTI+ dinilai akan menjadi katalis positif di tengah popularitas platform OTT. Rekomendasi Farras, buy saham MNCN dengan target harga di Rp 1.400.

Kemudian, SCMA mendapatkan dorongan dari Vidio.com serta dua lisensi tayangan sepakbola terpopuler di Indonesia, yakni FIFA World Cup atau Piala Dunia 2022 dan English Premier League alias Liga Inggris.

Farras memberikan rekomendasi buy SCMA dengan target harga di Rp 340. Risiko utama yang perlu dicermati di saham MNCN dan SCMA adalah lemahnya belanja iklan, perang harga platform OTT dan pemulihan ekonomi yang tidak sesuai ekspektasi.

Serupa, Nico juga menjagokan saham SCMA dan MNCN. Nico memberikan target harga Rp 350 untuk saham SCMA dan Rp 1.350 bagi saham MNCN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto

Terbaru