REKOMENDASI SAHAM - JAKARTA. Perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS) jadi tantangan emiten yang memiliki pasar ekspor ke Negeri Paman Sam tersebut. Seperti diketahui, kondisi ekonomi AS sedang tidak baik-baik saja.
Setelah dilanda krisis perbankan, AS juga menghadapi potensi gagal bayar utang. Aktivitas bisnis melambat, seperti yang ditunjukkan oleh New York Empire State Manufacturing Index yang anjlok 42,6 poin menjadi negatif 31,8 pada Mei.
Para eksportir menyiapkan strategi memitigasi dampak dari aktivitas industri dan manufaktur AS yang mengalami kontraksi. Seperti yang dilakukan oleh PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD).
Maklum, pasar AS mendominasi keran ekspor dari emiten yang bergerak di industri kayu dan mebel tersebut. Investor Relation WOOD, Fajar Andika, mengungkapkan permintaan produk dari pasar AS menyumbang hampir 95% dari total revenue pada tahun lalu.
"Produk yang kami ekspor berupa building component, furniture knock down dan furniture build up. Presentasi ekspor produk kami sebagaian besar ditujukan untuk pasar AS hampir 95%," ujar Fajar kepada Kontan.co.id, Kamis (18/5).
Baca Juga: Beri Pinjaman Rp 199 Miliar ke Anak Usaha, Begini Rekomendasai Saham LTLS
Berdasarkan order yang diterima, WOOD melihat ada indikasi permintaan building komponen dari AS sudah mulai berangsur membaik. WOOD juga mendalami permintaan produk yang sebelumnya belum tereksplorasi dari pasar AS, seperti pintu dan sofa.
WOOD masih melihat potensi untuk meningkatkan ekspor ke pasar AS masih sangat besar. Meski begitu, WOOD tetap melakukan mitigasi kemungkinan adanya penurunan permintaan dari Negeri Hollywood tersebut.
Strateginya adalah melakukan penetrasi ke pasar yang memiliki pertumbuhan permintaan furniture seperti Eropa dan Asia. "Diversifikasi produk dan juga menjaga harga yang kompetitif," imbuh Fajar.
PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP) juga menyasar AS sebagai pasar ekspor. Chief Strategy, Corporate Secretary & Investor Relations ISSP, Johannes W. Edward, mengatakan pihaknya mengekspor produk pipa untuk keperluan fire protection system dan pipa hitam standar lainnya.
Porsi penjualan ke pasar AS mencapai sekitar 80% dari total ekspor. Sebagai catatan, pangsa pasar ekspor ISSP tidak terlalu besar, hanya sekitar 5%-7%. Dus, Johannes menyebut sejauh ini perlambatan ekonomi di AS belum berdampak signifikan.
"Belum ada dampak yang terlalu material. Hal ini bisa dilihat juga dari harga HRC di Amerika yang relatif masih tinggi. Di atas US$ 1.100. Menunjukkan kinerja manufaktur mereka masih cukup baik," kata Johannes.
Namun, ISSP turut melakukan langkah mitigasi. Yakni dengan mendalami peluang ekspor ke negara lainnya, seperti ke Australia. Selain WOOD dan ISSP, PT Garuda Metalindo Tbk (BOLT) juga menyasar pasar AS.
Hanya saja, porsi ekspor ke pasar AS masih mini, yakni di bawah 1%. Oleh sebab itu, dampak perlambatan ekonomi AS terhadap BOLT juga belum signifikan. BOLT malah ingin memperkuat usaha untuk menjaring lebih banyak pelanggan di AS.
"Karena customer kami di AS masih belum banyak, jadi strategi kami adalah terus menjalin hubungan dan mencari pasar baru di customer. Jadi potensial pertumbuhan penjualan kami di pasar AS masih sangat luas," ungkap Corporate Secretary BOLT Anthony Wijaya.
Analis Panin Sekuritas, Andhika Audrey, melihat perlambatan ekonomi di AS secara umum akan berdampak terhadap Indonesia sebagai mitra dagang. Investor perlu mencermati dampaknya terhadap penurunan permintaan dan harga produk.
Andhika menyarankan agar investor mengamati potensi perlambatan ekonomi pada mitra dagang Indonesia lainnya, seperti China dan Jepang.
Tak hanya soal kontraksi di data ekonomi, Research Analyst Reliance Sekuritas, Lukman Hakim mengingkatkan agar investor turut mencermati perkembangan gejolak debt ceiling di AS.
Selain itu, arah kebijakan suku bunga serta pergerakan nilai kurs dolar AS yang akan memberikan dampak bagi kinerja emiten yang menggelar ekspor. Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya turut menyoroti, pasar ekspor yang terdiversifikasi cenderung memberikan pertumbuhan kinerja yang lebih stabil bagi emiten.
Untuk pasar AS, Cheril masih melihat ada peluang, seiring dengan penjualan ritel yang masih bisa tumbuh 0,4% pada bulan April. Cheril pun menilai saham WOOD masih layak koleksi dengan target harga di level Rp 430. Stoploss pada Rp 398.
Sedangkan Lukman menyarankan buy untuk saham PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) dengan target resistance di Rp 840 dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dengan target resistance di Rp 1.380.
Baca Juga: Maybank Sekuritas Pertahankan Rating Buy GGRM, Simak Ulasannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News