Rupiah Melemah, Bagaimana Nasib Emiten dengan Utang Valas Jumbo?

Senin, 04 Juli 2022 | 08:05 WIB   Reporter: Ika Puspitasari
Rupiah Melemah, Bagaimana Nasib Emiten dengan Utang Valas Jumbo?


DAMPAK GEJOLAK RUPIAH - JAKARTA. Kurs spot rupiah ditutup melemah 0,27% ke Rp 14.943 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (1/7). Dalam sepekan terakhir, kurs rupiah di pasar spot melemah 0,63%. Level rupiah kemarin menjadi level terlemah sejak Juni 2020. 

Tren serupa juga terjadi di kurs referensi Jisdor Bank Indonesia (BI). Kurs JISDOR ditutup di level Rp 14.956 per dollar AS, terkoreksi 0,50%. Sementara jika dihitung dalam sepekan, kurs JISDOR sudah turun sebesar 0,74%.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandu Dewanto mengatakan, nilai kurs Rupiah yang terus bergerak melemah tentu menjadi sentimen negatif bagi para emiten yang memiliki eksposure besar terhadap nilai tukar. Apalagi, emiten memiliki utang yang didominasi oleh mata uang dolar AS karena secara otomatis nilai pokok dan bunganya akan meningkat.

Baca Juga: Menakar Efek Pelemahan Rupiah bagi Emiten, Saham Apa yang Masih Menarik?

"Sehingga ini berpotensi menimbulkan kerugian kurs, risiko ini meningkat jika selama ini belum melakukan hedging," kata Pandu.

Dalam risetnya Selasa (14/6), Lembaga pemeringkat Moody's menuliskan ada beberapa emiten yang rentan terhadap pelemahan rupiah. Misalnya ada emiten pengembang properti PT Modernland Realty Tbk (MDLN), selanjutnya ada PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).

Kemudian, ada emiten produsen ban PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), emiten konsumer PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Riset tersebut menjelaskan bahwa MDLN dan ASRI terkena depresiasi rupiah karena hampir semua utang emiten dalam mata uang dolar AS. Dimana sebagian besar tidak dilindungi nilai atau hedging.

Tak hanya itu, kedua emiten ini juga tidak memperoleh pendapatan dalam dolar AS untuk memenuhi biaya pembayaran utang. Sementara untuk APLN, emiten ini emiliki sekitar 52% utang dalam dolar AS dan rentan lantaran posisi likuiditas perusahaan yang sudah lemah.

Moody's menyebut APLN akan membutuhkan pinjaman eksternal untuk menutupi biaya bunga jika rupiah melemah lebih lanjut.

Kemudian untuk GJTL, 65% dari arus kas produsen ban ini berada dalam rupiah. Sedangkan, GJTL mempunyai 50%-60% utang dalam dolar AS dan sebagian besar biaya operasional dan belanja modalnya dalam mata uang dolar AS. Sebagai tambahan, senior secured notes sebesar US$ 175 juta dan pinjaman modal kerja sebesar US$ 26 juta GJTL tidak dilindungi nilai.

Lalu untuk emiten konsumer ICBP menghasilkan pendapatan sebesar 70%-75% dalam rupiah. Sementara, hampir semua utang ICBP dalam mata uang dolar AS dengan biaya yang signifikan dalam mata uang dolar AS untuk impor bahan baku.

Baca Juga: IHSG pada Senin (4/7) Masih Dibayangi Sentimen Domestik, Saham-saham Ini Bisa Dilirik

Lebih lanjut, obligasi ICBP senilai US$ 2,75 miliar tidak dilindungi nilai. Meski demikian, ada beberapa hal yang meringankan karena jatuh tempo surat utang yang lama hingga tahun 2031. Itu berarti tidak ada kebutuhan pembiayaan kembali dalam waktu dekat.

Selain MDLN, ASRI, APLN, GJTL, ICBP, Pandu menjelaskan emiten lain yang memiliki porsi utang besar dalam dolar antara lain PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID), dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).

"Besaran utang valas ini dapat berbahaya jika emiten tidak melakukan hedging," jelas Pandu.

Ia bilang, meski secara operasional membukukan kinerja yang solid, namun dapat dengan mudah tergerus dengan kerugian kurs yang menimpa. Bahkan, tidak jarang akan membuat para emiten membukukan bottom line negatif akibat besarnya porsi hutang dalam struktur modal mereka.

Menurutnya, hedging sangat penting untuk dilakukan oleh para emiten, terutama menghadapi resiko penguatan dolar yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga beberapa waktu mendatang, mengingat strategi the Fed yang lebih agresif dalam memerangi inflasi.

Berdasarkan prospek bisnis, Pandu memandang MEDC cukup menarik sejalan dengan peningkatan kinerja operasional, sejak akuisisi blok corridor awal tahun ini dari Conoco Phillips. Kinerja emiten ini semakin terdongkrak oleh kenaikan harga minyak dan gas sehingga laba melonjak tajam.

Baca Juga: Kinerja Sejumlah Emiten Ini Dibayangi Fluktuasi Rupiah, Simak Rekomendasi Sahamnya

Namun, kata Pandu, memang ada konsekuensi dari aksi korporasi tersebut dimana nilai hutang juga ikut meningkat, hal tentu mendatangkan risiko yang lebih besar terutama pada masa seperti saat ini, dimana kurs dolar dalam tren menguat.

Mengenai pelemahan Rupiah ini, Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Hilmi Panigoro mengatakan, pendapatan serta sebagian besar biaya Medco Energi adalah dalam dollar AS. "Sehingga penurunan mata uang Rupiah sangat minim pengaruhnya terhadap kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban hutang," ungkapnya pada Kontan, Jumat (1/7).

DOID juga mencatat pendapatan dalam dolar AS. Head of Investor Relations Delta Dunia Makmur Regina Korompis mengungkapkan, seluruh pinjaman DOID juga dalam dolar AS. Jika mengutip laporan keuangan kuartal pertama tahun ini, DOID mencatat liabilitas jangka pendek senilai US$ 428,07 juta dan liabilitas jangka panjang US$ 943,39.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .

Terbaru