Sentimen Ini Diprediksi Membayangi Pergerakan IHSG pada Semester II 2022

Jumat, 15 Juli 2022 | 05:20 WIB   Reporter: Yuliana Hema
Sentimen Ini Diprediksi Membayangi Pergerakan IHSG pada Semester II 2022


REKOMENDASI SAHAM -  JAKARTA. Memasuki paruh kedua tahun ini, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diselimuti beberapa sentimen negatif yang perlu diperhatikan pelaku pasar dan investor. 

IHSG menutup perdagangan hari ini, Kamis (14/7), dengan menguat 0,74% ke posisi 6.690,08. Walau begitu, IHSG mendapat tekanan dari jual bersih asing (net sell) sebesar Rp 464,17 miliar. 

Chief Executive Officer Edvisor.id, Praska Putrantyo menuturkan salah satu pemberat pergerakan IHSG datang dari ancaman stagflasi di Indonesia, lantaran bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 

Sebagai gambaran, stagflasi adalah kondisi di saat perekonomian suatu negara mengalami peningkatan harga (inflasi) yang signifikan, di saat negara tersebut kemudian mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Dibayangi Sentimen Negatif, Berikut Prediksi IHSG Untuk Jumat (15/7)

"Kalau potensi masuk Indonesia resesi masih sangat minor karena masih ditopang pertumbuhan konsumsi yang masih tinggi, tapi efek dari stagflasi ini memperlambat pertumbuhan ekonomi," kata Praska pada Kontan, Rabu (13/7). 

Adapun Bank Indonesia (BI) sendiri menyatakan stagflasi global menghantui prospek perekonomian di Indonesia. Namun, BI bilang akan berusaha untuk menjaga inflasi di dalam negeri.

Ancaman lain data dari potensi kenaikan suku bunga di dalam negeri. Praska berpendapat, hal ini bisa memperlambat ekspansi dari para emiten, apa lagi pemulihan ekonomi belum terjadi merata pada semua sektor. 

"Sekaligus membuat aliran dana investor asing di pasar modal dalam negeri keluar sehingga pasar modal Indonesia berpotensi mengalami penurunan," kata dia. 

Baca Juga: IHSG Naik ke 6.690 Meski Asing Mencatat Net Sell, Kamis (14/7)

Mengutip data RTI, investor asing tercatat melakukan jual bersih sebesar Rp 1,11 triliun selama empat hari perdagangan ini. 

Di tengah sentimen negatif yang ada, Praska menilai investasi di instrumen fixed income, pasar uang dan pasar surat utang bisa menjadi pilihan untuk mengamankan aset. 

"Kalau di bobotkan, sekitar 20%-30% di pasar uang, 30%-40% pada surat utang dan sisanya di pasar saham," tandasnya.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli

Terbaru