Hingga semester I-2021, tren kenaikan obligasi diprediksi terus berlanjut

Senin, 04 Januari 2021 | 13:59 WIB   Reporter: Intan Nirmala Sari
Hingga semester I-2021, tren kenaikan obligasi diprediksi terus berlanjut

ILUSTRASI. Obligasi./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/01/10/2020.


OBLIGASI - JAKARTA. Jadi salah satu pilihan safe haven atau aset lindung nilai saat krisis dan pandemi, kinerja produk investasi berbasis obligasi sukses memberikan return besar sepanjang 2020. Tren tersebut diprediksi masih akan berlanjut hingga semester I-2020, tergantung pada dampak pandemi Covid-19.

Berdasarkan rangkuman Kontan, dari lima besar instrumen investasi yang berhasil memberikan return terbesar di 2020, produk berbasis obligasi mendominasi peringkat tersebut. Dimana pada urutan ketiga ada obligasi pemerintah atau INDOBeX Goverment Total Return yang naik sebanyak 14,77% secara year to date (ytd), disusul obligasi korporasi atau INDOBeX Goverment Total Return yang naik 11,09%. Ada juga Infovesta 90 Fixed Income Fund Indeks atau reksadana pendapatan tetap yang memberikan return 10,35% ytd. 

Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana mengungkapkan, secara umum dalam lima tahun terakhir pergerakan obligasi khususnya untuk Surat Utang Negara (SUN) sebagaimana data dalam indeks obligasi IBPA terus mencatatkan return yang lebih baik dibandingkan pasar saham. 

"Itu karena, Surat Berharga Negara (SBN) sendiri diterbitkan langsung oleh pemerintah, sementara obligasi korporasi diterbitkan emiten-emiten yang punya rating lebih baik. Sedangkan saham banyak layernya, seperti small cap, big cap dan lainnya," kata Fikri kepada Kontan, Minggu (3/1).

Selain itu, setahun terakhir tepatnya di 2019 investor cenderung risk averse atau menjauhi risiko dari manajer investasi bermasalah. Alhasil, aset-aset non risk seperti obligasi dianggap punya prospek lebih baik dan aman, terlebih jika dibandingkan dengan saham yang culturenya adalah kepemilikan dan riskan untuk out perform. 

Meskipun begitu, Fikri memandang saat kondisi ekonomi membaik dan keadaan kembali positif, maka masyarakat atau pelaku pasar akan kembali mengincar aset-aset berisiko seperti saham. Prediksinya, itu baru akan terjadi di semester II-2021 bergantung pada keberhasilan distribusi vaksin Covid-19.

Baca Juga: Simak rekomendasi saham dari analis ini usai Joe Biden jadi presiden terpilih AS

Fikri menilai tahun ini, tren portofolio investasi sangat bisa berubah dari tahun lalu. Apalagi, di akhir Agustus 2020 lalu, aset berisiko mulai kembali bangkit didukung kebijakan pemerintah dan cara pelaku investasi melihat risiko ke depan.

"Kalau ada perubahan risk averse ke retaker, kemungkinan tren investasi 2020 akan berubah tahun ini. Game changernya lebih ke dampak pandemi, sehingga risk averse kemungkinan masih akan terjadi di semester I-2021 dan retaker baru akan terjadi di semester II-2021 dimana investor akan beralih ke aset berisiko," paparnya.

Ke depan, pelaku pasar akan melihat seberapa besar dampak pandemi Covid-19 terhadap perilaku usaha masyarakat, hingga ke pendapatan, alokasi konsumsi dan investasi masyarakat. 

Untuk setahun ke depan, Fikri memprediksi tren yield SUN masih akan turun, mengingat di awal tahun risiko pandemi Covid-19 masih akan dirasakan. Ditambah lagi, penurunan yield SUN juga didukung tren penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan yield spread dengan US Treassury.

Meskipun begitu, inflasi 2021 diprediksi lebih terjaga di kisaran 2%, sehingga potensi yield turun lebih dalam menjadi terbatas. Penurunan yield akan lebih jelas tampak pada SUN dengan tenor jangka panjang. 

Adapun untuk yield SUN tenor 10 tahun, Fikri memprediksi akan berada di rentang 5,5% hingga 5,7%. Dengan inflasi yang terjaga, BI juga diprediksi masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunga acuannya sekitar 25 basis poin (bps) hingga 50 bps di tahun ini. 

Selanjutnya: Potensi saham emas di tengah pandemi

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .
Terbaru